Jumat, 14 September 2007

tanaman bambu

Bambu, Tanaman Tradisional yang Terlupakan
Oleh OTJO DANAATMADJA

I. Pendahuluan

KITA mengetahui bersama bahwa kerusakan sumber daya alam di Indonesia telah melampaui ambang batas kerusakan dan cenderung untuk menuju kepada kemusnahan fatal apabila tidak ada usaha penanggulangannya yang berarti.

Kawasan hutan seluas 122 juta ha tinggal separuhnya akibat pembalakan liar/illegal logging, yang sampai kini belum ada penanganannya secara tuntas.

Di Jawa Barat sendiri terdapat lahan kritis sekira 600.000 ha, sebagian besar merupakan lahan kritis masyarakat (70%). Akibatnya kita merasakan sendiri terjadinya malapetaka bagi seluruh lapisan masyarakat seperti terjadinya banjir, longsor, sendimentasi, pendangkalan sungai serta muaranya, dll. pada musim hujan serta kekurangan air, pencemaran air dll. pada musim kemarau yang menyebabkan banyak kehilangan harta benda bahkan nyawa dll. yang tak ternilai harganya sedang keadaan ekonomi masyarakat berada dalam keadaan terpuruk.

Usaha rehabilitasi memang telah dimulai baik melalui GERHAN, GRLK provinsi, kabupaten, kota tetapi hasilnya belum mencapai sasaran yang diinginkan, padahal Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis ini telah berlangsung lebih dari 40 tahun yang lalu termasuk Gerakan Gandung Tatangkalan (Rakgantang) tahun 1970, Task Force tahun 1971 oleh Bapak Solihin GP, sewaktu beliau menjabat Gubernur Jawa Barat termasuk Banten.

Secara rutin bertahun-tahun tanaman penghijauan pada lahan kritis tersebut didominasi oleh komoditas jenis tanaman kayu-kayuan sebagai tanaman konservasi dan buah-buahan sebagai tanaman produktif. Sedangkan tanaman bambu sebagai jenis tanaman tradisional dengan sifatnya multiguna, belum tersentuh padahal sepantasnya jenis tanaman ini diikutsertakan dalam rangka rehabilitasi lahan kritis ini seperti disarankan oleh almarhum Bapak Mashudi dan Bapak Solihin GP beberapa tahun yang lalu.

II. Bambu sebagai bahan baku

Bambu, merupakan hasil hutan non kayu yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber bahan baku industri. Di bidang kehutanan tanaman bambu dapat meningkatkan kualitas hutan yang selama ini menjadi bahan baku industri perkayuan nasional melalui substitusi atau keanekaragaman bahan baku, mengingat potensi hutan kayu semakin langka sedangkan industri sudah telanjur ada dengan kapasitas besar, maka tuntutan pemenuhan bahan baku industri kehutanan menjadi agenda prioritas penyelamat aset kehutanan nasional.

Sebetulnya perhatian pemerintah terhadap tanaman bambu muncul setelah kebakaran hutan besar tahun 1997 di Kalimantan yang meluluh lantakkan lebih dari 1 juta ha.

Di masa yang akan datang tanaman bambu dapat mendukung selain sebagai bahan baku sarana tradisional (bangunan, alat rumah tangga, kerajinan, kesenian dll.) dapat pula mendukung kapasitas dan kualitas hutan alam/hutan tanaman yang selama ini menjadi sumber bahan baku industri perkayuan nasional. Bentuk dukungan tersebut melalui substitusi produk atau keseragaman sumber bahan baku industri, mengingat potensi kayu semakin langka, memerlukan waktu yang relatif panjang rehabilitasinya, sedangkan bambu pada umur 4-5 tahun sudah memenuhi persyaratan yang layak.

Besarnya kebutuhan bahan baku bambu tidak mampu lagi dipenuhi oleh hutan alam bambu dan bambu rakyat, karena itu untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri bambu diperlukan pengembangan hutan tanaman bambu yang dikelola secara profesional.

Dalam pada itu gejala yang dihadapi adalah masalah bibit yang secara tradisional memerlukan waktu yang cukup lama dan berkaitan dengan jenis bambu yang diinginkan. Dalam hal ini jalan pintas yang terbaik sejak dini didirikan Laboratorium Kultur Jaringan Bambu yang dapat memenuhi penyediaan bibit bambu yang memiliki persyaratan yang diperlukan jenis, kualitas, kuantitas dan waktu.

III. Keterlibatan masyarakat

Sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi dengan bambu adalah sebagian lahan kritis masyarakat yang disatupadukan dengan GERHAN dan GRLK yang berlokasi di pedesaan. Pemasyarakatan bambu kepada petani di pedesaan tersebut dinilai tidak terlalu penting karena sifat komoditi bambu sudah merupakan bagian dari kehidupannya, bahkan dalam forum internasional dikatakan "Bamboo is timber of the poor" (bambu adalah kayu kaum duafa) sehingga bambu merupakan produk hasil hutan yang murah.

Pada Kongres Bambu Internasional bulan Juli 1995 di Denpasar Bali, istilah itu dihapus karena masyarakat modern kota pun menghargai bambu dan bambu dapat menjadi bahan baku industri maju seperti untuk kertas, papan lapis, papan serat atau bahan konstruksi bangunan.

Tingkat keterlibatan masyarakat akan semakin tinggi bila rumpun bambu tumbuh di lahan milik masyarakat dengan sistem keterpaduan antara tanaman pertanian dan tanaman bambu (sistem tumpangsari/sisipan atau tanaman lorong).

Keterlibatan masyarakat dalam skema ekonomi menjadi persyaratan pokok dan dapat dikembangkan melalui perpaduan antara usaha tani perkebunan inti rakyat (PIR), pola hutan tanaman industri (PHTI) dan pola pemberian kredit, di mana di dalamnya terlibat masyarakat, pemerintah dan penjamin pemasaran produk.

Selain produk batang bambu, hutan tanaman bambu juga menghasilkan produk rebung. Selama satu tahun penanaman dapat dihasilkan 10-20 tunas tiap rumpun, sehingga apabila dalam 1 ha terdapat = 30 rumpun, maka dapat dihasilkan sekira 6.000 rebung yang dapat menghasilkan sedikitnya Rp 15 juta, yang merupakan hasil tambahan masyarakat penggarap.

IV. Sepintas kilas masalah bambu

a. Sebaran jenis bambu

Di dunia terdapat lebih dari 1.250 jenis bambu yang berasal dari 75 marga. Dari jumlah tersebut di Indonesia terdapat 39 jenis bambu yang berasal dari 8 marga.

Bambu tumbuh di daerah tropis, sub tropis dan beriklim sedang kecuali di Eropa dan Asia Barat, dari dataran rendah sampai pada ketinggian 4.000 m dpl.

Tempat tumbuhnya pada tanah aluvial dengan tekstur tanah berpasir sampai berlampung, berdrainase baik, beriklim A/B (tipe FS) dengan ketinggian optimal 0-500 m dpl.

b. Karakteristik bambu

Bambu tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan) disebut juga Hiant Grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap, dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 4-5 tahun.

Batang bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas berongga kadang-kadang masif, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata tunas atau cabang.

Akar bambu terdiri dari rimpang (rhizon) berbuku dan beruas, pada buku akan ditumbuhi oleh serabut dan tunas yang dapat tumbuh menjadi batang.

c. Fungsi dan manfaat bambu

Menurut Rivai, Suryo Kusumo dan Nugoro (1994), kegunaan dan manfaat bambu bervariasi mulai dari perabotan rumah, perabotan dapur dan kerajinan, bahan bangunan serta peralatan lainnya dari yang sederhana sampai dengan industri bambu lapis, laminasi bambu, maupun industri kertas yang sudah modern. Dari sekilas gambaran manfaat tersebut menyiratkan suatu harapan, bahwa kebutuhan terhadap bambu akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan masyarakat.

1) Ekologis

Tanaman bambu mempunyai sistem perakaran serabut dengan akar rimpang yang sangat kuat. Karakteristik perakaran bambu memungkinkan tanaman ini menjaga sistem hidronologis sebagai pengijat tanah dan air, sehingga dapat digunakan sebagai tanaman konservasi. Rumpun bambu di Tatar Sunda disebut dapuran awi juga akan menciptakan iklim mikro di sekitarnya, sedangkan hutan bambu dalam skala luas pada usia yang cukup dapat dikategorikan sebagai satu satuan ekosistem yang lengkap. Kondisi hutan bambu memungkinkan mikro organisme dapat berkembang bersama dalam jalinan rantai makanan yang saling bersimbiosis.

2) Sosial, ekonomi, budaya

Tanaman bambu baik dalam skala kecil maupun besar mempunyai nilai ekonomi yang meyakinkan. Budaya masyarakat menggunakan bambu dalam berbagai aktivitas kehidupan sehingga bambu dapat dikategorikan sebagai multipurpose free species (MPTS = jenis pohon yang serbaguna). Pemanfaatan bambu secara tradisional masih terbatas sebagai bahan bangunan dan kebutuhan keluarga lainnya (alat rumah tangga, kerajinan, alat kesenian seperti angklung, calung, suling, gambang, bahan makanan seperti rebung dll.).

Pada umumnya jenis-jenis bambu yang diperdagangkan adalah jenis bambu yang berdiameter besar dan berdinding tebal. Jenis-jenis tersebut diwakili oleh warga Bambusa (3 jenis), Dendrocalalamus (2 jenis) dan Gigantochloa (8 jenis).

Dari jenis-jenis tersebut dapat dibudidayakan secara massal untuk menunjang industri kertas, chopstick, flowerstick, ply bamboo, particle board dan papan semen serat bambu serta kemungkinan dikembangkan bangunan dari bahan bambu yang tahan gempa dll.

Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat bambu menjadi salah satu kelengkapan yang tidak bisa ditinggalkan, misalnya dalam upacara adat, upacara perkawinan, hajatan keluarga bahkan bahan baku bambu menjadi alat musik khas komunitas tertentu. Lebih dari itu perkembangan sosial budaya masyarakat ditandai dengan perkembangannya aksesori bambu dalam pembuatan perabot rumah tangga dan cindera mata yang bernilai seni tinggi. Di beberapa tempat species bambu tentu menjadi bagian mitos dan kelengkapan ritual masyarakat yang bernilai magis.

d. Analisis ekonomi hutan tanaman bambu

Berdasarkan penelitian PT Persada Alnita Lestari (2003), pembangunan Hutan Tanaman Bambu pada tahun pertama memerlukan, biaya Rp 10.137.000,00 dari mulai perencanaan sampai pemeliharaan. Pada tahun ke 2 sampai tahun ke 4 diperlukan biaya sebesar Rp 1.402.900,00 per ha. Apabila daur pengusaha hutan bambu selama 20 tahun, maka kebutuhan dana total mencapai Rp 87.960.100,00 per ha. Dengan perolehan hasil sebesar Rp 767.520.000,00.

Secara analisis finansial investasi pembangunan hutan tanaman bambu dengan indikator interest 18% per tahun dan dengan metode discounting dari tahun pertama sampai tahun akhir daur perusahaan (20 tahun) menghasilkan Net Present Valute (NPV) sebesar 56% sehingga pengusaha bambu ini dikategorikan layak.

Tidak ada komentar: